Psy - Gangnam Style

Senin, 12 Januari 2015

KELOMPOK 10 ( Erisca N, Shella Monica, Sri Rahayu )

TUGAS 1
Analisis Teks Media Berdasarkan Teori Semantik dan Hermeneutika
Diajukan Sebagai Syarat untuk Melengkapi Tugas Mata  Kuliah
Jurnalistik

Dosen Pengampu : Azizah , S. Kom.

Di Susun Oleh :
Erisca Novriyanti
Shella Monica
Sri Rahayu

Semester : V


Kelompok : 10


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
STKIP SINGKAWANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Perkembangan dunia jurnalistik saat ini khususnya di Indonesia telah mencapai ceorgasme, yaitu puncak dari dunia jurnalistik Indonesia adalah ketika terbukanya kran kebebasan pers yang sebelumnya dibelenggu oleh kerangkeng kekuasaan. Namun, hal itu menjadi buah simalakama. Disatu sisi kebebasan tersebut bagaikan angin segar dalam padang pasir kekeringan, sehingga setiap orang kapanpun dan dimanapun bebas tanpa melalui saringan dapat mendirikan media dan mengelurakan pendapat dan aspirasi. Tapi disatu sisi kebebasana tersebut telah menghasilkan berbagai akses positif dan akses negatif, Peningkatan kuantitas penerbitan pers yang tajam (booming), tidak disertai dengan pernyataan kualitas jurnalismenya. Sehingga banyak tudingan “miring” yang dialamatkan pada pers nasional. Ada juga media massa yang dituduh melakukan sensionalisme bahasa melalui pembuatan judul (headlines) yang bombasis, menampilkan “vulgarisasi: dan erotisasi informasi seks.
            Hal inilah yang menjadi latar belakang analisis dari makalah ini, sejauh mana sebuah media memiliki kualitas jurnalistik, bagaimana penggunaan dan pemakaian bahasa jurnalistik dalam menampilkan berita-berita, serta apakah sebuah media masih memegang ketentuan-ketentuan dan kode etik jurnalistik.dalam melaksanakan kegiatan persnya.







B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian bahasa jurnalistik atau media massa?
2.      Karakteristik bahasa jurnalistik ?
3.      Bagaimanakah penggunaan kata, kalimat dan alinea dalam bahasa jurnalistik?
4.      Apakah ragam bahasa dalam jurnalistik?
5.      Aturan bahasa indonesia?
6.      Ejaan?
7.      Pertumbuhan kosa kata?
8.      Patokan menulis?
9.      Karakteristik bahasa jurnalistik?
10.  Analisis problamatika penggunaan bahasa jurnalistik?
11.  Karakteristik kalimat pada koran?
12.  Pengertian hermeutika?
13.  Tokoh-tokoh pengembang hermeutika?
14.  Cara krja hemeutika?
15.  Latar Belakang hermeutika?

C.    Tujuan Penulisan
            Tujuan penulisan dari makalah ini adalah :
1.      Agar kita mengetahui penggunaan gaya bahasa dalam penulisan berita
2.      Agar kita mengetahui teori hemeutika dalam jurnalistik.

D.    Manfaat Penulisan
1.      Dosen
Diharapkan dosen dapat melihat sisi positif dari informasi yang kami berikan untuk lebih dikoreksi lagi dan dikembangkan untuk kedepannya.
2.      Mahasiswa
Diharapkan mahasiswa dapat memahami dan mengembangkan makalah ini untuk kedepannya, agar dapat mendapatkan wawasan pengetahuan yang mendalam tentang informasi yang pentng pada makalah ini
3.      Pembaca
4.      Diharapkan pembaca dapat mengambil informasi yang penting dalam makalah ini sehingga dapat mengembangkan wawasan pembaca untuk menerapkan kedalam kehidupan sehari-hari.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
            Bahasa Jurnalistik adalah gaya bahasa yang digunakan wartawan dalam menulis berita. Disebut juga Bahasa Komunikasi Massa (Language of Mass Communication, disebut pula Newspaper Language), yakni bahasa yang digunakan dalam komunikasi melalui media massa, baik komunikasi lisan (tutur) di media elektronik (radio dan TV) maupun komunikasi tertulis (media cetak), dengan ciri khas singkat, padat, dan mudah dipahami.
            Bahasa Jurnalistik memiliki dua ciri utama : komunikatif dan spesifik. Komunikatif artinya langsung menjamah materi atau langsung ke pokok persoalan (straight to the point), bermakna tunggal, tidak konotatif, tidak berbunga-bunga, tidak bertele-tele, dan tanpa basa-basi. Spesifik artinya mempunyai gaya penulisan tersendiri, yakni kalimatnya pendek-pendek, kata-katanya jelas, dan mudah dimengerti orang awam. Bahasa Jurnalistik hadir atau diperlukan oleh insan pers untuk kebutuhan komunikasi efektif dengan pembaca (juga pendengar dan penonton).
Ragam Bahasa
            Bahasa Indonesia umum mempunyai dua corak yang nyata bedanya, yaitu bahasa tutur dan bahasa bergaya. Bahasa tutur atau bahasa percakapan ialah bahasa yang lazim dipakai dalam pergaulan sehari-hari, terutama dalam percakapan. Sifat-sifat khasnya, bersahaja, sederhana, dan singkat bentuknya.
B.     Aturan Bahasa Indonesia
            Bahasa jurnalistik harus mengindahkan kaidah-kaidah tata bahasa. Ia harus mengikuti pokok aturan bahasa Indonesia. Pokok aturan pertama: Yang penting atau yang dipentingkan ditaruh di depan, yang kurang penting atau keterangan di belakang. Pokok aturan kedua: Kata benda Indonesia tidak memunyai bentuk jamak (plurak; jumlah lebih dari satu). Untuk menunjukkan jamak digunakan kata “banyak”, “beberapa”, “semua”, “segala”, “setengah”, dan sebagainya atau disebut jumlahnya. Penjamakan kata dapat juga dilakukan dengan mengulang kata sifat yang di bekangnya, misalnya “kota bersih-bersih”, “kuda bagus-bagus”. Terkadang dikatakan pula “kota-kota bersih”, “kuda-kuda bagus”.
C.     Ejaan
            Bahasa jurnalistik harus memperhatikan ejaan yang benar. Kedengarannya mudah, tetapi dalam praktek bukan main banyak kesulitan. Wartawan semestinya memiliki Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan untuk dikonsultasi sewaktu diperlukan.
Pertumbuhan Kosa Kata
            Kata-kata ialah alat para wartawan. Mereka tidak dapat bekerja jika tidak memiliki jumlah kata yang cukup. Untuk itu harus diperoleh suatu penguasaan, baik kosa kata (vocabulary) dan ungkapan-ungkapan (phrase). Wartawan atau lebih luas media massa memunyai peranan dalam menyiptakan kata-kata baru atau dalam pertumbuhan kosa kata. Banyak kata yang dipopulerkan melalui surat kabar seperti heboh, gengsi, anda, ganyang, ceria, sadis, dan sekian banyak kata baru yang muncul akhir-akhir ini.
D.    Patokan Menulis
            Pada awalnya sudah dikatakan bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas, yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas, menarik, dan netral. Dalam hubungan itu, Rosihan Anwar (2004) menyodorkan beberapa patokan dalam menggunakan bahasa jurnalistik Indonesia. Gunakan kalimat-kalimat pendek. Prinsip inilah yang mengantarkan pengarang Amerika Ernest Hemingway memenangkan Hadiah Pulitzer dan Hadiah Nobel. Waktu muda Hemingway menjadi wartawan surat kabar Kansas City Star. Di situ, sambil bekerja, ia banyak belajar tentang prinsip-prinsip penulisan berita.
            Gunakan bahasa biasa yang mudah dipahami orang. Apa yang disampaikan kepada khalayak (audience) harus betul-betul dapat dimengerti orang. Jauhi kata-kata teknik ilmiah dan kata-kata bahasa asing. Kalau terpaksa, jelaskan terlebih dahulu arti kata-kata itu. Gunakan bahasa sederhana dan jernih pengutaraannya. Khalayak media massa terdiri dari aneka ragam manusia dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang berbeda-beda, dengan minat perhatian, daya tangkap, kebiasaan yang berbeda-beda pula. Bayangkan pembaca yang pukul rata berpendidikan sederhana, katakanlah tamat SMP agar tulisan kita mencapai khalayak yang aneka ragam itu. Rumus ini dikemukakan Injo Beng Goat, pemimpin redaksi harian Keng Po di Jakarta tahun 1950-an.
            Gunakan bahasa tanpa kalimat majemuk. Dengan menggunakan kalimat majemuk, pengutaraan pikiran kita mudah terpeleset menjadi berbelit-belit dan bertele-tele. Wartawan sebaiknya menjauhkan diri dari kesukaan memakai kelimat majemuk karena bisa mengakibatkan tulisannya menjadi tidak terang (wolly). Gunakan bahasa dengan kalimat aktif, bukan kalimat pasif. Membuat berita menjadi hidup bergaya ialah sebuah persyaratan yang dituntut dari wartawan. Dibanding kalimat “Si Amat dipukul babak belur oleh si Polan”, kalimat “Si Polan memukul si Amat babak belur” terasa lebih hidup bergaya. Kalimat pasif jarang digunakan, walaupun ada kalanya dia dapat menimbulkan kesan kuat.
            Gunakan bahasa padat dan kuat. Hematlah dengan kata-kata. Kembang-kembang bahasa dan pengulangan makna yang sama seperti dalam sastra harus dihindarkan. Gunakan bahasa positif, bukan bahasa negatif. Kalimat “Bupati Pesawaran Aries Sandi menolak memberikan keterangan kepada Lampung Post” terasa lebih akurat dibandingkan dengan kalimat “Bupati Pesawaran Aries Sandi tidak bersedia memberi keterangan kepada Lampung Post“.
            Kamus Besar Bahasa Indonesia(2005): Bahasa jurnalistik adalah salah satu ragam bahasa Indonesia, selain tiga lainnya — ragam bahasa undang-undang, ragam bahasa ilmiah, dan ragam bahasa sastra.
            Dewabrata: Penampilan bahasa ragam jurnalistik yang baik bisa ditengarai dengan kalimat-kalimat yang mengalir lancar dari atas sampai akhir, menggunakan kata-kata yang merakyat, akrab di telinga masyarakat sehari-hari; tidak menggunakan susunan yang kaku formal dan sulit dicerna. Susunan kalimat jurnalistik yang baik akan menggunakan kata-kata yang paling pas untuk menggambarkan suasana serta isi pesannya. Bahkan nuansa yang terkandung dalam masing-masing kata pun perlu diperhitungkan.
E.     Karakteristik Bahasa Jurnalistik
            Secara spesifik, bahasa jurnalistik dapat dibedakan menurut bentuknya, yaitu bahsa jurnalistik surat kabar, bahasa jurnalistik tabloid, bahasa jurnalistik majalah, majalah jurnalistik radio siaran, bahasa jurnalistik televisi dan bahasa jurnalistik suart kabar, selain harus tunduk kepada kaidaja atau prinsip-prinsip umum bahasa jurnalistik, juga memiliki ciri-ciri yang sangat khsusu dan spesifik. Hal ini yang memebdakan dirinya dari bahasa jurnalistik majalah, bahasa jurnalistik radio, bahasa jurnalistik televisi, dan bahasa jurnalistik media on-line internet.
            Adapun ciri utama dari bahasa jurnalistik yang secara umum berlaku untuk semua media berkala yaitu:
F.      Sederhana
            Sederhana berarti selalu mengutamakan dan memilih kata atau kalimat yang paling banyak diketahui maknanya oleh khalayak pembaca yang sangat hetrogen; baik dilihat dari tingkat intelektualitasnya maupun karakteristik demografis dan psikografisnya. Kata-kata dan kalimat yang rumit, yang hanya dipahami maknanya oleh segelintir orang, tabu digunakan dalam bahasa jurnalsitik
Singkat
            Singkat berarti langsung kepada pokok masalah (to the point), tidak bertele-tele, tidak berputar-putar, tidak memboroslan waktu pembaca yang sangat berharga. Ruangan atau kapling yang tersedia pada kolom-kolom halaman surat kabar, tabloid atau majalah sangat terbatas, sementara isinya banyak dan beraneka ragam. Konsekuensinya apa pun pesan yang akan disampaikan tidak boleh bertentangan dengan filosofi, fungsi dan karakteristik pers.
Padat
            Padat dalam bahasa jurnalistik menurut Patmono SK, rekatur senior Sinar Harapan dalam bukunya Tehnik Jurnalistik (1996:45) berarti sarat informasi. Setiap kalimat dan paragraf yang ditulis membuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak pembaca. Ini berarti terdapat perbedaan yang tegas antara kalimat singkat dan kalimat padat. Kalimat singkat tidak berarti memuat banyak informasi. Tetapi kalimat yang padat kecuali singkat juga mengandung lebih banyak informasi.
G.    Lugas
            Lugas berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufisme atau pengahlusan kata dan kalimat yang bisa membingungkan khalayak pembaca sehingga terjadi perbedaan presepsi dan kesalah konklusi.
H.    Jelas
            Jelas berarti mudah ditangkap maksudnya, tidak baur dan kabur. Sebagi  contoh, hitam adalah warna yang jelas, begitu juga dengan putih kecuali jika keduanya digabungkan  maka akan menjadi abu-abu . perbedaan warna hitam dan putih melahirkan kesan kontras. Jelas disini mengandung tiga arti: jelas artinya, jelas susunan kata atau kalimatnya sesuai dengan kaidah objek predikat keterangan (SPOK), dan jelas sasaran atau maksudnya.
I.       Jernih
            Jernih berarti bening, tembus pandang, transparan, jujur, tulus, tidak menyembunyikan sesuatu yang lain yang bersifat negatif seperti prasangka atau fitnah. Dalam pendekatan analisis wacana, kata dan kalimat yang jernih berarti kata dan kalimat yang tidak memilki agenda tersembunyi di balik pemuatan suatu berita atau laporan keculai fakta, kebenaran, kepentingan publik. Dalam perspektif orang-orang komunikasi, jernih berarti senantiasa mengembangkan pola pikir positif (psitive thinking) dan menolak pola pikir negatif (negative thinking). Hanya dengan pola pikir positif kita kan dapat melihat smua fenomena dan persoalan yang teradpat dalam masyarakat dan pemerintah dengan kepala dingin, hati jernih, dan dada lapang.
J.       Menarik
            Menarik artinya mampu membangkitkan minat dan perhatian khalayak pembaca. Memicu selera pembaca. Bahasa jurnalistik berpijak pada prinsip menarik, benar dan Baku.
Demokratis
            Demokratis berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal tingkatan, pangkat, kasta, atau perbedaan dari pihak yang menyapa dan pihak yang disapa sebagaimana dijumpai dalam gramatika bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Bahasa jurnalistik menekankan aspek fungsional dan komunal, sehingga sama seklai tidak dikenal pendekatan feodal sebagaimana dijumpai pada masyarakat dalam lingkungan priyayi dan keraton.
K.    Populis
            Populis berarti setiap kata, istiulah atau kalimat apa pun yang terdapat dalam karya-karya jurnalistik harus akrab ditelinga, di mata, dan di benak pikirna khalayak pembaca, pendengar, dan pemirsa. Bahasa jurnalistik harus merakyat, artinya diterima dan diakrabi oleh semua lapisan masyarakat. Kebalikan populis adalah elitis. Bahasa elitis adalah bahasa yang hanya dimengerti dan dipahami segelintir kecil oarang saja, terutama mereka yang berpendidikan dan berkedudukan tinggi.
L.     Logis
            Logis berarti apa pun yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat atau paragraf jurnalistik harusdapat diterima dan tidak bertentangan dengan akal sehat (common sense). Bahas jurnalisitk harus dapat diterima dan sekaligus mencerminkan nalar. Disini berlaku hukum logika
M.   Gramatikal
Gramatikal berarti kata, istilah, atau kaliamt apa pun yang dipakai dan dipilih dalam bahasa jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku. Bahsa baku artinya bahasa resmi sesuai dengan ketentuan taat bahasa serta pedoman ejaan yang disempurnakan berikut pedoman pembentukan istilah yang menyertainya. Bahasa baku adalah bahasa yang paling besar pengaruhnya dan paling tinggi wibawanya pada suatu bangsan dan kelompok masyarakat.
N.    Mengutamakan kalimat aktif.
Kalimat aktif lebih mudah dipahami dan lebih disukai oelh kahalayak pembaca dari pada kalimat pasif. Bahasa jurnalistik harus jelas susunan katanya, dan kuat maknanya (clear dan strong). Kalimat aktif lebih memudahkan pengertian dan memperjelas tingakt pemahaman. Kalimat pasif sering menyesatkan pengertian dan membingungkan tingkat pemahaman.
O.    Menghindari kata atau istilah teknis
Karena ditujukan untuk umu, maka bahasa jurnalistik harus sederhana, mudah dipahami, ringan dibaca, tidak membuat kening berkerut apalagi sampai membuat kepala berdenyut. Salah satu cara untuk itu ialah dengan menghindari pengguanan kata atau istilah-istilah teknis. Bagaimanapun, kata atau istilah teknis hanya berlaku untuk kelompok atau komuniats tertentu yang relatif homogen. Realitas yang homogen, menurut perspektif filsafat bahasa, tidak boleh dibawa ke dalam relatias yang hetrogen. Kecuali tidak efektif, juga mengandung unsur pemerkosaan. Kalaupun tidak terhindarkan maka istilah teknis itu harus disertai penjelasan dan ditempatkan dalam tana kurung.
Surat kabar lebih banyak memuat kata atau istilah teknis, mencerminkan surat kabar itu:
kurang melakukan pembinaan dan pelatihan terhadap wartawannya yang malas.
tidak memiliki editor bahasa.
tidak memiliki buku panduan peliputan dan penulisan berita serta laporan.
tidak memilki sikap profesional dalam mengelola penerbiatn pers yang berkualitas.
P.      Menghindari kata atau istilah asing
Berita ditulis untuk dibaca atau didengar. Pembaca atau pendengar harus tahu arti atau makan setiap kata yang dibaca dan didengarnya.Berita atau laporan yang banyak diselipi kata-kata. Asing, selian tidak informatif dan komunikatif, juga sangat membingungkan.
Menurut teori komunikasi, khalayak media massa anonim dan heterogen. Tidak saling mengenal dan benar-benar majemuk, terdiri atas berbagai suku bangsa, latar belakang sosial-ekonomi, pendidikan, pekerjaan, profesi dan tempat tinggal. Dalam perspektif teori jurnalistik, memasukan akat atau istilah pada berita yang kita tulis, kita diudarakan atau kita tayangkan, sama saja dengan sengaja menyebar banyak duri ditengah jalan. Kecuali menyiksa diri sendiri, juga mencelakakan orang lain.
Q.    Tunduk kepada kaidah dan etika bahasa baku
Pers, sebagai guru bangsa dengan fungsinya sebagai pendidik, pers wajib menggunakan serta tunduk kepada kaidah dan etika bahasa baku, bahasa pers harus baku, benar, dan baik.
Dalam etika berbahasa, pers tidak boleh menuliskan kata-kata yang tidak sopan, kata-kata vulgar, kata-kata berisi sumpah serapah, kata-kata hujatan dan makian yang sangat jauh dari norma sosial budaya agama, atau denagn rendah lainnya dengan maksud untuk membangkitkan asosiasi serta fantasi seksual khalayak pembaca.
R.     Analisis Problematika Penggunaan Bahasa Jurnalistik
            Analisis penggunaan bahasa jurnalistik (Contoh: Dari Berbagai Sumber)
Media Indonesia Rubrik Editorial Edisi 7 Januari 2006.
            Yang pertama, pada editorial Media Indonesia edisi 7 Januari 2006 adalah dari segi judul. Pertama, pada edisi 7 Januari Media Indonesia menulis seperti ini: Jangan Bunuh Penumpang (kami). Dari segi judul sedikit ekstrim, kata bunuh adalah kata yang terlalu ekstrem untuk ditulis pada sebuah media yang notebenenya besar dan berpegang pada fungsi utama pers yaitu sebagai edukasi, kata bunuh merupakan kata yang mempunyai makna kejam dan sadis. Pada judul tersebut yang ditujukan pada Jasa Penerbangan dan Pemerintah adalah provokasi seakan-akan kesalahan utama pada kecelakaan itu disebabkan oleh kedua pihak tersebut sehingga ”Media Indonesia” menulis Jangan Bunuh Penumpang (Kami).
Kedua, pada judul Jangan Bunuh Penumpang (Kami), ada tanda kurung siku pada kalimat Menurut Drs. AS Haris Sumadiria M.Si (Bahasa Jurnalisitik, 2006:237) fungsi utama tanda kurung siku adalah, (1) tanda kurung siku mengapit kata, huruf atau kelompok kata sebagai koreksi atau tambahan pada kalimat atau bagian kalimat yang ditulis orang lain. Tanda itu menyatakan bahwa kesalahan dan kekurangan itu memang terdapat dalam naskah asli. (2) tanda kurung siku mengapit keterangan dalam kalimat penjelas yang sudah dalam tanda kurung.
Jelas, tanda kurung siku pada judul ediotorial khususnya pada kalimat ”Kami” tidak masuk kriteria pemakaian tanda kurung siku. Kalaupun Media Indonesia menulis Jangan Bunuh Penumpang Kami, sungguh tidak mengurangi makna yang dimaksud dan justru lebih jelas apa yang dimaksud dan yang dituju oleh judul tersebut.
Ketiga, kalimat tidak pantas untuk ditulis yaitu kalimat Berengsek!.Kalimat yang terletak pada paragraf empat ini sedikit membuat penulistersentak, lengkap kalimatnya seperti ini. Disisi lain, transportasi udara yang mestinya segalanya paling prima juga setali tiga uang. Berengsek! Padahal, sektor penerbangan pertumbuhan penumpangnya mencengangkan.
Kalimat ”Berengsek” termasuk pada gaya bahasa pertentangan yaitu sarkasme. Sarkasme sendiri adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dan menyakiti (Poerwadarminta, 1976:875). Ciri utama bahasa sarkasme ialah selalu mengandung kepahitan dan celaan yang getir, menyakiti hati dan kurang enak didengar (Tarigan, 1985:92). Dalam bahasa sehari-hari saja, kata Berengsek mempunyai makna negatif bahkan, dalam acara-acara televisi asing, kata Fuck yang berarti ˜Berengsek” sering disensor dengan bunyi..Teeeet. Ini menjadi sebuah ironi, Media Indonesia walaupun menggunakannya dalam bahasa tulis tapi makna yang dimaksud dan makan konotatifnya tidak sedikit pun bisa di kurangi yaitu kasar.
Dalam persfektif bahasa jurnalistik, sarkasme berkembang dalam suatu masyarakat sebagai cerminan masyarakat itu sedang sakit. Sarkasme menujukan kaidah normatif pada budaya peradaban tinggi, dianggap tidak lagi efektif dalam menjawab berbagai persoalan sosial-ekonomi dan politik suatu bangsa. Orang tidak lagi memilih pola pikir logis etis tetapi lebih suka mengembangkan cara-cara sikap dan perilaku sadis dan anarkis. Bahasa jurnalistik terlarang menggunakan kata-kata kasar, menyakiti hati, tidak enak didengar, vulgar, sarat sumpah serapah, dan lebih jauh lagi mencerminkan pola perilaku orang, atau kelompok masyarakat yang tidak beradab. (Drs. AS Haris Sumadiria, 2006: 161).
Media Indonesia Rubrik Editorial Edisi 8 Januari 2006
Seperti halnya analisis pada Editorial edisi 7 Januari 2006, pada editorial Media Indonesia edisi 8 Januari 2006 adalah dari segi judul yaitu Manis bagi Pejabat Racun untuk Rakyat. Pertama, Media Indonesia menulis judul pada Editorial edisi 8 Januari 2006 dengan: Manis bagi Pejabat Racun untuk Rakyat. Judul yang ditulis sungguh menarik, dan mempunyai nilai sastra yang cukup bagus terutama rima (bunyi akhir kalimat) yang sama, seperti kata penjabat mempunyai rima yang sama dengan rakyat yaitu atau. Ini menjadi daya tarik tersendiri, terutama menjadikan judul ini memenuhi kriteria karakteristik bahasa jurnalistik yaitu menarik.
Dari segi judul telah membuat pembaca tertarik untuk membaca selanjutnya, sebab dalam perspektif bahasa jurnalistik judul sangat menentukan langkah selanjutnya pada pembaca. Jika judul itu menarik dan membuat pembaca tertarik biasanya pembaca seperti didorong untuk membaca isinya secara utuh. Berbeda dengan judul yang monoton bahkan kering, membuat pembaca hanya ”numpang lewat dan numpang lihat saja” dan beralih pada tulisan lain.
Selanjutnya dari segi isi tulisan editorial ini, seperti halnya tulisan pada editorial yang lain, sifatnya to the point atau langsung pada yang dituju, selain itu juga bahasa yang digunakan mudah dicerna dan dimengerti oleh semua kalangan. Jadi bisa dikatakan bahasa yang dipakai telah memenuhi kriteria karakteristik bahasa jurnalistik; sederhana, singkat, padat, lugas, jelas dan menarik.
Media Indonesia Rubrik Editorial Edisi 9 Januari 2006
Dari segi judul Media Indonesia menulis pada Editorial 9 Januari 2006 Parpol Terlalu Banyak. Judul yang ditulis sungguh sederhana, singkat, padat dan lugas. Judul tersebut cukup mewakili isi tulisan secara garis besar yaitu tentang semakin maraknya paratai politik menjelang pemilu.
Namun ada kejanggalan dari segi sisi tulisan. Khususnya pada kalimat orde reformasi pada paragraf keempat, secara jelas isi tulisan seperti ini isinya: Karena kapok dengan otoritarianisme dan pengebirian aspirasi, era reformasi kembali menganut sistem mulitipartai. Dalam tulisan ini terdapat kejanggalan adalah kata reformasi tidak ditulis dengan diawali huruf besar, sebab ini berbeda dengan kata era Orde Baru pada paragraf ketiga, pada kata Orde Baru ditulis dengan dimulai huruf besar. Untuk lebih lengkap isi tulisannya seperti ini: Setelah Orde Baru tumbang, sistem tiga partai jebol.Politik Indonesia kembali menganut sistem multipartai sebagai reaksi atas keasadaran bahwa selama era Orde Baru terajdi penyumbatan aspirasinya
Menurut Drs. As Haris Sumadiria (Bahasa Jurnalistik, 2006:213) bahwa huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama negara, lembaga pemerintahan dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi kecuali kata seperti dan. Dari tinjauan teori tadi jelas bahwa pada isi tulisan editorial tersebut pada kata era reformasi huruf reformasi harus diawali dengan huruf kapital sebab kata era reformasi termasuk pada bagian unsur negara, seperti halnya kata era Orde Baru yang diawali dengan huruf kapital. Maka kalimat itu seharusnya menjadi era Reformasi.
Selanjutnya, yang saya cermati pada paragraf ketiga belas, terdapat kalimat electoral threshold, lebih jelas susunan isi tulisannya yaitu: Jadi, kita sebaiknya mengarah ke sistem parti sederhana. Tidak didasarkan dekrit atau keppres, tetapi pada ketentuan mengenai electoral threshold. Dengan demikian jika ingin menyederhanakan partai, naikan saja electoral threshold dari sekarang 3% menjadi 4 % atau 5 % bahkan lebih.
Termasuk dari kriteria karakteristik bahasa jurnalistik adalah menghindarkan kata atau istilah asing, pada isi tulisan editorial tersebut kata electoral threshold adalah kata dan istilah asing dan penggunaan kata dan istilah asing tersebut dipandang kurang efektif sebab sedikit tidak dimengerti baik artinya atau maknanya.
Solusinya adalah kalaupun terpaksa menulis kata atau isitilah asing maka kata tersebut hendaklah diberi sedikit penjelasan dengan menyisipkan arti atau makna pada tanda kurung, tujuannya agar pikiran pembaca sampai dengan apa yang dimaksud serta menjembatani pada tulisan selanjutnya. Sebab jika pada suatu kalimat terdapat sesuatu yang tidak dimengerti oleh pembaca bisa jadi hal ini akan mengganggu pada proses pemahaman kalimat dan tulisan berikutnya, alih-alih pembaca biasanya malas meneruskan bacaannya. Secara garis besar tulisan ediorial ini menarik dan telah memenuhi kriteria karakteristik bahasa jurnalistik, selain hal-hal diatas.
Karakteristik Kalimat pada Koran
1.      Singkat.
2.      Padat.
3.      Sederhana.
4.      Lugas.
5.      Menarik.
6.      Jelas.
Bahasa yang digunakan dapat dimengerti oleh pembacanya.
Ide-ide yang disampaikan dalam media massa tidak perlu dijelaskan dengan sangat detil.
Kata-kata tak bermakna dalam media massa sangat sedikit
S.      Pengertian  Hermaneutik
Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, hermeneuein, yang berarti menafsirkan. Dalam mitologi Yunani, kata ini sering dikaitkan dengan tokoh bernama Hermes, seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Tugas menyampaikan pesan berarti juga mengalihbahasakan ucapan para dewa ke dalam bahasa yang dapat dimengerti manusia. Pengalih bahasaan sesungguhnya identik dengan penafsiran. Dari situ kemudian pengertian kata hermeneutika memiliki kaitan dengan sebuah penafsiran atau interpretasi.
Paul Ricoeur mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika. Maksudnya disini hermeneutika merupakan teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, dengan kata lain, sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks. Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Hermenetik menurut pandangan ialah Sebuah metode untuk memahami teks yang diuraikan.
T.      Tokoh-tokoh pengembang Hermaneutik
            Ada banyak tokoh dalam hermeneutika. Sebut saja, misalnya, F.D.E Schleiermarcher, Wilhelm Dilthey, Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas, dan Paul Ricoeur. Unsur-unsur penting yaitu: mengungkapkan, menjelaskan, dan menerjemahkan. Adapun asal-usul  hermeneutika sendiri yakni ketika Hermes  menyampaikan pesan para  dewa kepada manusia. Dan hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai ‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti’. “Pertama hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel yakni merujuk pada prinsip-prinsip interpretasi Bibel, dan hal tersebut memasuki penggunaan modern sebagai suatu kebutuhan yang muncul dalam buku-buku yang menginformasikan kaidah-kaidah eksegesis kitab suci (skriptur). Yang kedua hermeneutika sebagai metodelogis filogogis yang menyatakan bahwa metode interpretasi yang diaplikasikan terhadap Bibel juga dapat diaplikasikan terhadap buku yang lain, selalnjutnya Yang ketiga hermeneutik sebagai ilmu pemahaman linguistikKeempat, hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi geisteswissenschaften yang melihat inti disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu, semua disiplin yang memfokuskan pada pemahamn seni, aksi, dan tulisan manusia). Kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi dasein dan pemahaman eksistensial, dalam konteks ini tidak mengacu pada ilmu atau kaidah interpretasi teks atau pada metodologi bagi geisteswissenschaften, tetapi pada penjelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri. Yang terakhir hermeneutika  sebagai sistem interpretasi:menemukan makna vs ikonoklasmeyakni sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai teks” (Palmer, 2003: 38-49). Dalam Webster’s Third New Internasional Dictionary dijelaskan bahwa hermeneutika adalah studi tentang prinsip-prinsip metodelogis interpretasi dan eksplanasi. Pada dasarnya hermeneutika adalah landasan filosofi dan merupakan juga modus  analisis data.
U.    Cara Kerja Hermeneutika
Dalam buku Hermeneutik sebuah Metode Filsafat (Sumaryono,1993:30-33) menjelaskan bahwa dasar dari semua objek itu netral, sebab objek adalah objek. Sebuah meja di sini atau bintang di angkasa berada begitu saja. Benda-benda itu tidak bermakna pada dirinya sendiri. Hanya subjeklah yang kemudian memberi ‘pakaian’ arti pada objek. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek. Jika tidak demikian, maka objek menjadi tidak bermakna sama sekali. Husserl menyatakan bahwa objek dan makna tidak pernah terjadi secara serentak atau bersama-sama, sebab pada mulanya objek itu netral. Meskipun arti atau makna muncul sesudah objek atau objek menurunkan maknanya atas dasar situasi objek, semuanya adalah sama saja
V.    Latar Belakang Hermeneutika
Paul Ricoeur adalah seorang filsuf, dalam karya-karyanya sepertinya ia memiliki persfektif kefilsafatan yang beralih dari analisis eksistensial kemudian ke analisis eidetik (pengamatan yang semakin mendetail), fenomenologis, historis, hermeneutika hingga pada akhirnya semantik. Dengan mengutif Nietzsche, ia mengatakan bahwa hidup itu sendiri adalah interpretasi (Ricoeur,1974:12). Bilamana terdapat pluralitas makna, maka disitu interpretasi dibutuhkan. Apalagi jika simbol-simbol dilibatkan. Interpretasi menjadi penting, sebab disini makna mempunyai multi lapisan.
Hermeneutika sendiri yaitu mengupas tentang makna tersembunyi dalam teks yang kelihatan mengandung makna, karena setiap interpretasi adalah usaha untuk “membongkar” makna-makna yang masih terselubung atau usaha membuka lipatan-lipatan dari tingkat-tingkat makna yang terkandung dalam makna kesusastraan





BAB III
PENUTUP

A.  Simpulan
Jika disimpulkan ada sedikit perbedaan cara penyajian bahasa jurnalistik pada media cetak dan media indonesia. Namun tidak menutup mata sebenarnya ada beberapa point tentang cara penyajian bahasa jurnalistik pada media cetak dan media elektronik yang sama diantaranya gaya ringan bahasa sederhana, gunakan prinsip ekonomi kata, gunakan ungkapan lebih pendek dan gunakan kata sederhana.
Media massa merupakan suatu wadah bagi para jurnalis untuk menuangkan segala aspirasi dan informasi yang dapat diberikan para jurnalis kepada masyarakat. Jurnalis mengembangkan penggunaan bahasa Indonesia kedalam bahasa jurnalistik.

B.  Saran
Diharapkan kepada mahasiswa lebih memahami teori hermeutika dan gaya bahasa jurnalistik, karena berguna saat proses membuat atau menulis sebuah berita. Dapat diterapkan dalam kehidupan sehari untuk membuat sebuah berita. Kepada pembaca lebih bisa untuk mengembangkan pembelajaran jurnalistika kearah yang lebih sempurna.





TUGAS 2
       Preview news adalah berita yang meengemukakan tentang akan berlangsungnya suatu acara atau kegiatan. Preview news ini memberikan sejumlah informasi tentang suatu hal sebelum kegiatan itu berlangsung.  Preview news ini dimuat ketika suatu acara atau kegiatan akan berlangsung atau dapat dikatakan betita tersebut dimuat sebelum acara atau kegiatan tersebut dilaksanakan.
Contoh penyajian preview news dari straight news.

Contoh 1:

Persiapan Menjelang Lomba Aampan diSambas
       Pada tanggal 16 desember 2014, besok hari diadakan lomba sampan disambas yang akan berlangsung pada hari minggu pukul 15:00 WIB. Banyak yang mengikuti lomba tersebut dan berasal dari berbagai daerah. Penduduik sekitar dan luar sambas sangat antusias untuk mrenonton lomba sampan yang meriah. Lomba sampan ini diadakan setiap tahun di kota sambas.
       “ acara ini guna untuk melestarikan budaya sampan yang ada didaerah sambas” ujar seorang panitia lomba sampan.
       Acara sampan ini berlangsung pada besok hari, Minggu ttangal 16 Desember di Sungai Sambas pada pukul 15:00 ewib. Banyak persiapan-persiapan yang dilakukan panitia lomba sampan un tuk menjelang berlangsungnya lomba sampan besok hari diantaranya memasang umbul-umbul disetiap sisi jalan dan memasang spanduk serta mengecek kegiatan administrasi peserta lomba sampan.
       “ Persiapan menyeluruh sebenarnya sudah kami lakukan 2 minggu menjelang acara lomba sampan ini, banyak pro dan kontra sebenarnya dengan acara ini.” Ujar Andi sebagia ketua panitia lomba.


Contoh 2 :
Persiapan Menjelang Upacara 17 Agustus 19945 di Kantor Walikota
Singkawang

       Upacara 17 Agustus 1945 merupakan salah satu upacara yang wajib dilaksanakan oleh berbagai instansi diseluruh Indonesia tanoa terkecuali termaksud Singkawang. Padatanggal 17 Agustus 2014, besok hari akan berlangsungnya upoacara yang kaan diadakan dihalaman kantor walikota singkawang.
       Upacara tersebut sks berlangsung pada pukul 08 : 00 Wib, bertempatkan de[an kantor walikota yaitu dihalaman. Peserta upacara diikuti dari berbagai kalangan seperti, Guru,  Siswa, serta mahasiswa. Serta PAKIBRA.
       “Kami mempersiapkan kegiatan ini selama 1 bulan secara rutin kami latihan. “ Ujar salah satu anggota paskibra.

Minggu, 11 Januari 2015

KELOMPOK 7 ( Putra dan Setia Agung )

TUGAS 1
Audience dan Pengaruhnya Terhadap Komunikasi Massa
 Diajukan Sebagai Syarat untuk Melengkapi Tugas Mata  Kuliah
Jurnalistik

Dosen Pengampu : Azizah , S. Kom.

Di Susun Oleh :
Putra
Setia Agung

Semester : V



Kelompok : 7


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
STKIP SINGKAWANG
2014

Audience dan Pengaruhnya Terhadap Komunikasi Massa
Diajukan Sebagai Syarat untuk Melengkapi Tugas Mata  Kuliah
Jurnalistik

Dosen Pengampu : Azizah , S. Kom.
Di Susun Oleh :
Putra
Setia Agung
Semester : V
Description: D:\semester 2\SEMESRTER 1\makalah\logo stkip singkawang.jpeg
Kelompok : 7
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
STKIP SINGKAWANG
2014


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan pertolonganNya penyusun dapat menyelesaiakan karya ilmiah yang berjudul ‘Audience dan Pengaruhnya Terhadap Komunikasi Massa’. Meskipun banyak rintangan dan hambatan yang dialami dalam proses pengerjaannya, tapi penyusun berhasil menyelesaikannya dengan baik.
Tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada dosen yaitu Ibu Azizah, S.I,Kom. pembimbing yang telah membantu dalam mengerjakan proyek ilmiah ini. Penyusun juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman mahasiswa yang juga sudah memberi kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan karya ilmiah ini. Tentunya ada hal-hal yang ingin diberikan kepada masyarakat atau mahasiswa dari hasil karya ilmiah ini. Karena itu penyusun berharap semoga karya ilmiah ini dapat menjadi sesuatu yang berguna bagi kita bersama.
Pada bagian akhir, penyusun akan mengulas tentang berbagai masukan dan pendapat dari orang-orang yang ahli di bidangnya, karena itu penyusun harapkan hal ini juga dapat berguna bagi kita bersama.
Semoga karya ilmiah yang dibuat ini dapat membuat kita mencapai kehidupan yang lebih baik lagi.

Singkawang,   Oktober 2014


  Penyusun,



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................... .... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A.    Latar Belakang............................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................................ 1
C.    Tujuan........................................................................................................... 1
D.    Manfaat......................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 3
A.    Uses and Gratification................................................................................. 3
B.     Information Seeking..................................................................................... 6
BAB III PENUTUP............................................................................................ 12
A.    Kesimpulan................................................................................................... 12
B.     Saran............................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 13







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kata audiens menjadi mengemuka ketika diidentikan dengan “receivers” dalam model proses komunikasi massa (source, channel, message, receiver, effect) yang dikemukakan oleh Wilbur Schramm (1955). Audiens adalah sekumpulan orang yang menjadi pembaca, pendengar, dan pemirsa berbagai media atau komponen beserta isinya, seperti pendengar radio atau penonton televisi.
Dengan demikian Audiens dapat didefinisikan dalam beberapa aspek: aspek lokasi (seperti dalam kasus media lokal); aspek personal (seperti ketika media dicirikan dengan mengacu pada kelompok usia tertentu, jenis kelamin, keyakinan politik atau pendapatan); aspek jenis media yang dipakai (teknologi dan organisasi gabungan); aspek isi pesan (genre, materi pelajaran, gaya); aspek waktu ('primetime' dan ‘primetime’, penonton dan juga lama menonton).
Sebelum media massa ada, audiens adalah sekumpulan penonton drama, permainan dan tontonan. Setelah ada kegiatan komunikasi massa, audiens sering diartikan sebagai penerima pesan-pesan media massa.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah berdasarkan latar belakang di atas antaralain sebagai berikut.
1.      Apa yang dimaksud dengan Uses and Gratification?
2.      Apa yang dimaksud dengan Information Seeking?


C.    Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah
1.      Untuk mengetahui uses and gratification.
2.      Untuk mengetahui information seeking.

D.    Manfaat
Manfaat yang dapat ambil dari makahal ini adalah:
1.      Mahasiswa.
Agar bisa menambah wawasan lebih luas tentang audience dan pengaruhnya terhadap komunikasi massa, serta menambah pengetahuan yang dimiliki.
2.      Dosen.
Agar bisa membantu dalam proses mengajar di dalam kelas tentang materi audience dan pengaruhnya terjadap komunikasi massa.
3.      Penyusun.
Bagi kami sendiri ini sangat membantu  dalam belajar, agar apa yang kami ketahui bisa menambah wawasan dan pengetahuan yang kami miliki.







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Uses and Gratification
Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kebutuhan ( Uses and Gratification Theory ) adalah salah satu teori komunikasi (massa) dimana titik berat penelitian dilakukan pada pemirsa atau khalayak sebagai penentu pemilihan pesan dan media. Selain itu dapat di pahami bahwa Uses and Gratifications Theory atau Teori kegunaan dan kepuasan memandang pengguna media mempunyai kesempatan untuk menentukan pilihan-pilihan media sumber beritanya. Dalam hal ini, pengguna media berperan aktif dalam kegiatan komunikasi untuk memenuhi kepuasannya. (Nurudin, 2003).
Pendekatan Uses and Gratifications untuk pertama kali dikenalkan oleh Alihu Katz (1959) dalam artikel sebagai reaksinya terhadap pernyataan Bernard Berelson (1959) bahwa penelitian komunikasi tampaknya akan mati. Katz menegaskan bahwa bidang kajian yang sedang sekarat itu adalah studi komunikasi massa sebagai persuasi. Dia menunjukkan bahwa kebanyakan penelitian komunikasi sampai waktu itu diarahkan kepada penyidikan efek kampanye persuasi pada khalayak. Katz mengatakan bahwa penelitiannya diarahkan kepada jawaban terhadap pernyataan, apa yag dilakukan media utuk khalayak (What do the media do to people?). Kebanyakan penelitian ini menunjukkan bahwa komunikasi massa berpengaruh kecil terhadap khalayak yang dipersuasi Oleh karena itu para peneliti berbelok ke variable-variabel yang menimbulkan lebih banyak efek, misalnya efek kelompok (Effendy, 1993:289).
Menurut Desi Dwi Hapsari (2001:23-24) dalam skripsinya mengatakan Uses and Gratifications menunjukkan bahwa yang menjadi permasalahan utama bukanlah bagaimana media mengubah sikap dan prilaku khalayak, tetapi bagaimana media memenuhi kebutuhan pribadinya dan sosial khalayak. Jadi, bobotnya ialah pada khalayak yang aktif, yang sengaja menggunakan media untuk mencapai tujuan khusus.
Menurut Katz, Gurevitch, dan Haas, seperti dikutip Onong Uchjana Effendy dalam bukunya yang berjudul Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (1993:294), model Uses and Gratifications memulai dengan lingkungan sosial (social environment) yang menentukan kebutuhan kita. Lingkungan sosial tersebut meliputi ciri-ciri afiliasi kelompok dan ciri-ciri kepribadian. Kebutuhan individual (individual’s needs) dikategorikan sebagai:
1.      Cognitive needs (kebutuhan kognitif)
Kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan informasi, pengetahuan dan pemahaman mengenai lingkungan. Kebutuhan ini didasarkan pada hasrat untuk memahami dan menguasai lingkungan, juga memuaskan rasa penasaran kita dan dorongan untuk penyelidikan kita.
2.      Affective needs  (kebutuhan efektif)
Kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan pengalaman-pengalaman yang estetis, menyenangkan, dan emosional.
3.    Personal integrative needs (kebutuhan peribadi secara integratif)
Kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan kredibilitas, kepercayaan, stabilitas, dan status individual. Hal-hal tersebut diperoleh dari hasrat akan harga diri.

4.    Social integrative needs (kebutuhan sosial secara integratif)
Kebutuhan yang berkaitan dengan peneguhan kontak dengan keluarga, teman, dan dunia. Hal-hal tersebut didasarkan pada hasrat untuk berfiliasi.


5.    Escapist needs (kebutuhan pelepasan)
Kebutuhan yang berkaitan dengan upaya menghindarkan tekanan, ketegangan, dan hasrat akan keanekaragaman.

Dalam teori uses and gratifications diaplikasikan pada motif pengguna dalam memanfaatkan media internet sebagai media komunikasi baru untuk memenuhi kebutuhan informasi, hiburan dan identitas personal. Liliweri dalam skripsi Dini Widiyanti (2004:32-33), Uses and gratification dilandasi pada asumsi-asumsi antara lain:
Penggunaan media pada akhirnya untuk mencapai suatu tujuan. Khalayak menggunakan media massa untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dengan sifatnya yang spesifik. Kebutuhan ini berkembang dengan lingkungan sosial.
Khalayak memilih jenis dan isi media massa untuk memenuhi kebutuhannya. Jadi khalayak terlibat dalam suatu proses komunikasi massa dan mereka dapat mempengaruhi media untuk kebutuhan-kebutuhan mereka secara lebih cepat dibandingkan dengan media yang dapat menguasai mereka.
Disamping media massa sebagai sumber informasi, maka ada pula berbagai sumber-sumber lain yang dapat memuaskan kebutuhan khalayak. Oleh karena itu media massa harus lebih bersaing dengan sumber-sumber lainnya. 
Khalayak mengetahui kebutuhan tersebut dan dapat memenuhinya jika dikehendaki. Mereka juga mengetahui alasan-alasan untuk menggunakan dan memilih media massa. 
Teori Uses and Gratifications pada awalnya muncul di tahun 1940 dan mengalami kemunculan kembali dan penguatan ditahun 1970an dan 1980an. Para teoritis pendukung Teori Uses and Gratifications berargumentasi bahwa kebutuhan manusialah yang mempengaruhi bagaimana mereka menggunakan dan merespon saluran media. Zillman sebagaimana dikutip McQuail telah menunjukkan pengaruh mood seseorang saat memilih media yang akan ia gunakan, pada saat seseorang merasa bosan,  maka ia akan memilih isi yang lebih menarik dan menegangkan dan pada saat seseorang merasa tertekan ia akan memilih isi yang lebih menenangkan dan ringan.
B.     Information Seeking
Menurut Donohew dan Tipton (1973), Information Seeking menjelaskan tentang pencarian, penginderaan, dan pemrosesan informasi, disebut memiliki akar dari pemikiran psikologi sosial tentang sikap. Salah satu asumsi utamanya adalah bahwa orang cenderung untuk menghindari informasi yang tidak sesuai dengan image of reality-nya karena informasi itu bisa saja membahayakan.
Information seeking adalah proses atau kegiatan yang mencoba untuk mendapatkan informasi dan teknologi baik dalam konteks manusia. Mencari informasi berkaitan dengan, tetapi belum berbeda, pengambilan informasi (IR). information seeking juga diartikan sebagai upaya menemukan informasi secara umum, dan information searching adalah aktivitas khusus mencari informasi tertentu yang sedikit-banyaknya sudah lebih terencana dan terarah.
Dalam istilah sederhana, information seeking melibatkan pencarian, pengambilan, pengakuan, dan penerapan isi yang maknawi. Pencarian ini bisa eksplisit atau implisit, pencarian mungkin hasil dari strategi khusus atau kebetulan, informasi yang dihasilkan mungkin akan dipeluk atau ditolak, seluruh pengalaman dapat dilakukan melalui suatu kesimpulan logis atau dihentikan di tengah jalan, dan mungkin ada juta potensi hasil lainnya.
Information seeking telah dilihat sebagai latihan kognitif, sebagai pertukaran sosial dan budaya, sebagai strategi diskrit diterapkan ketika menghadapi ketidakpastian, dan sebagai syarat dasar kemanusiaan di mana semua individu ada. Bahkan, perilaku informasi mungkin istilah yang lebih tepat, bukan mencari informasi, untuk terbaik menggambarkan hubungan multi-faceted informasi dalam kehidupan manusia, sebuah hubungan yang dapat mencakup baik aktif mencari melalui saluran informasi formal dan berbagai lain sikap dan tindakan, termasuk skeptisisme dan ambivalensi ( Pendleton & Chatman 1998 ). 
Kuhlthau menjelaskan proses information seeking sebagai inisiasi, pemilihan, eksplorasi, perumusan, pengumpulan, dan presentasi. 
1.      Inisiasi
Inisiasi dimulai dengan pengakuan kebutuhan informasi dan melibatkan upaya pertama untuk menyelesaikan ketidakpastian. Dalam teori psikologi perilaku, ketidakpastian, kebaruan, dan varietas memberikan motivasi awal untuk mencari informasi ( Wentworth & Witryol 1990 ). Keinginan psikologis untuk memprediksi hasil, untuk mengetahui yang tidak diketahui, atau untuk memperluas jangkauan pengalaman berfungsi sebagai daya dorong utama untuk mencari informasi dari perspektif behavioris. George Kelly berangkat dari kedua behaviorisme dan psikologi kognitif tradisional untuk menyarankan pengetahuan itu, dan informasi mencari yang membangun pengetahuan, muncul dari konstruksi pribadi ketimbang pengambilan murni objektif dan aplikasi (1955). Proses dan produk dari konstruksi ini adalah pengalaman unik dipengaruhi oleh keadaan kognitif, afektif, dan material individu. Kebutuhan untuk memodifikasi pribadi konstruksi sebagai situasi yang baru dan pengalaman muncul kebakaran mencari informasi.
2.      Seleksi
Setelah satu mengakui perlu tahu, pertanyaan tentang apa yang perlu mengetahui harus dijawab. Dalam seleksi, mengetengahkan individu informasinya perlu sehubungan dengan topik umum atau bidang pengetahuan. mencari informasi situasi formal mungkin memerlukan seorang individu untuk berhubungan dengan taksonomi yang sangat terorganisir area yang tunduk pada pertanyaan tertentu atau masalah. Sebagai contoh, sekolah istilah kertas tugas sering meminta siswa untuk menyelidiki pertanyaan penelitian dengan menggunakan metode yang ditentukan, untuk memanfaatkan sumber-sumber informasi tertentu, dan untuk menyajikan temuan mereka dalam format yang seragam. Untuk menyelesaikan tugas, mahasiswa harus menerjemahkan kebutuhan informasi mereka ke dalam sistem organisasi yang perpustakaan dan agen-agen informasi lainnya telah dikembangkan. Namun, semua ini ketertiban dan peraturan memungkiri kekacauan yang melekat untuk benar-benar menempatkan sebuah pertanyaan tak terjawab dalam skema luas pengetahuan manusia.
Menjawab pertanyaan berorientasi fakta sederhana menyajikan sedikit kesulitan menemukan di luar disiplin yang sesuai, bidang topik, atau deskriptor subjek. Namun, masalah yang kompleks sering membutuhkan banyak pemikiran dan usaha. Individu harus menggambar apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui, ikuti web besar tangen dan isu-isu sisi ke sisi jantung dilema, mengidentifikasi berbagai disiplin ilmu dengan perspektif terhadap masalah ini, dan berhubungan hierarki eksternal dan sistem data untuk tayangan internal unik dan berbeda kebutuhan pribadi. Tentu saja, isu yang paling relevan dan penting dalam hidup cenderung menjadi yang paling rumit. Filsafat fenomenologi, dengan penolakannya terhadap obyek / dikotomi subjek, menunjukkan bahwa setiap pencarian informasi situasi adalah pengalaman unik, dibuat berbeda dengan segala sesuatu pencari membawa untuk mencari ( Budd 2001 ). Dengan demikian, sedangkan taksonomi diperlukan dan bermanfaat bagi organisasi informasi, tindakan pemilihan tempat permintaan tangguh pada individu untuk menghubungkan pribadi dan khas dengan tujuan dan umum. Dalam proses pencarian informasi model-nya, Kuhlthau tampaknya mengenali tantangan dan menekankan bahwa individu harus didorong untuk melanjutkan dengan langkah mereka sendiri dalam proses seleksi dan bahwa perasaan kecemasan umum dalam proses ini harus diakui dan ditegaskan (1993).
Tahap eksplorasi menemukan pencari mencari informasi tentang topik atau topik yang menarik, bergulat dengan konsep dasar, dan mengidentifikasi isu-isu terkait. Eksplorasi berfungsi sebagai metode yang dasar-dasar konstruksi baru diletakkan, "membuka dimensi-dimensi pribadi dari makna dalam alam semesta dipahami dalam hal proses ( Warren 1991 , 529). " Eksplorasi menyediakan topografi yang satu melintasi untuk mengukir jalan yang individu pemahaman. Baik dan sosial faktor pribadi mempengaruhi baik proses dan produk dari eksplorasi ( Gandy 1998 , Pendleton & Chatman 1998 , Dervin 1999 , Kuhlthau 1993 , Budd 2001 ). Selanjutnya, individu cenderung untuk informasi nilai yang diperoleh dari-tangan investigasi pertama dalam lingkup kehidupan sehari-hari, seperti belajar dari pengalaman mereka sendiri dan mencari saran dari orang lain dalam kelompok sosial mereka ( Pendleton & Chatman 1998 , Myers 1998 ). Hal ini tidak berarti informasi yang dari luar ranah pribadi dan sosial secara langsung tidak relevan atau membantu dalam mencari informasi, tetapi kolaborasi dan komunikasi membayar individu kesempatan untuk menggunakan informasi tersebut dalam cara-cara yang bermakna.
3.      Koleksi
Dalam pengumpulan, mengumpulkan pencari dan sumber daya review yang membahas fokus khusus ia telah dirumuskan. Pada titik ini, individu harus memiliki cukup berkembang suatu pemahaman umum tentang prinsip-prinsip dan konsep yang mendasari masalah nya untuk membuat keputusan mengenai relevansi dari kedua isi dan bentuk. Jika tujuan mencari informasi adalah untuk mengembangkan pemahaman pribadi, maka koleksi melibatkan lebih dari menerima atau menolak bit data. Koleksi memerlukan individu untuk memilih tidak hanya apa yang erat dengan perhatian khusus tetapi juga untuk menentukan bagaimana setiap ide baru cocok menjadi solusi berkembang, untuk mengatur dan dapat terhubung informasi dengan cara yang berlaku dari kedua tujuan dan perspektif subyektif.
4.      Presentasi
Kuhlthau menggambarkan tahap presentasi dalam proses pencarian informasi model-nya dalam hal pidato, laporan, atau produk lain untuk latihan sekolah atau tugas (1993). Namun, semua orang menyajikan buah dari informasi mereka mencari ketika mereka menerapkan pengetahuan baru. Sebagai informasi yang dimasukkan untuk digunakan, isu-isu kekuasaan dan kewajiban timbul. pengetahuan baru dapat menjadi alat untuk perlawanan atau asimilasi. Ini mungkin membantu untuk memecahkan masalah atau mengungkapkan kedalaman lebih besar dari disonansi dan kontroversi. Ini dapat memberikan wawasan tentang masalah, tetapi tidak dapat menjamin bahwa keadaan luar akan memungkinkan untuk solusi. Terlepas dari hasil nya, aplikasi dan transformasi data ke dalam pemahaman pribadi baru berfungsi sebagai hasil penting yang membedakan mencari informasi dari pencarian informasi.

Dengan pemikiran demikian, komunikasi pembangunan ‘cara lama’ (tradisional) dimana peran agen pembangunan adalah sebagai ‘guru’ dan sumber informasi diganti menjadi sebagai fasilitator yang saling belajar dan saling bertukar informasi dengan masyarakat. Agen pembangunan juga bertugas untuk memperkenalkan sumber-sumber informasi lainnya agar masyarakat bisa mengakses. Diharapkan, lambat laun masyarakat mampu memfasilitasi dirinya sendiri dan memilih serta mencari informasi yang dibutuhkannya. Selain itu, menghargai kemampuan dan pengetahuannya sendiri.
Komunikasi yang demikian, dimana ‘orang luar’ dan masyarakat menjadi mitra belajar dan mitra diskusi, seringkali disebut sebagai komunikasi partisipatif, atau bahkan disebut juga sebagai komunikasi pembebasan (membebaskan masyarakat dari perasaan malu untuk berbicara, takut salah, rendah diri, dan sebagainya).



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kebutuhan ( Uses and Gratification Theory ) adalah salah satu teori komunikasi (massa) dimana titik berat penelitian dilakukan pada pemirsa atau khalayak sebagai penentu pemilihan pesan dan media. Selain itu dapat di pahami bahwa Uses and Gratifications Theory atau Teori kegunaan dan kepuasan memandang pengguna media mempunyai kesempatan untuk menentukan pilihan-pilihan media sumber beritanya. Dalam hal ini, pengguna media berperan aktif dalam kegiatan komunikasi untuk memenuhi kepuasannya.
Menurut Donohew dan Tipton (1973), Information Seeking menjelaskan tentang pencarian, penginderaan, dan pemrosesan informasi, disebut memiliki akar dari pemikiran psikologi sosial tentang sikap. Salah satu asumsi utamanya adalah bahwa orang cenderung untuk menghindari informasi yang tidak sesuai dengan image of reality-nya karena informasi itu bisa saja membahayakan.
Information seeking adalah proses atau kegiatan yang mencoba untuk mendapatkan informasi dan teknologi baik dalam konteks manusia. information seeking juga diartikan sebagai upaya menemukan informasi secara umum, dan information searching adalah aktivitas khusus mencari informasi tertentu yang sedikit-banyaknya sudah lebih terencana dan terarah.
B.     Saran
Kepada mahasiswa yang lain, dengan adanya makalah ini supaya bisa menambah wawasan dan pengetahuan tentang audience dan pengaruhnya terhadap komunikasi massa. Untuk dosen semoga bisa membantu dalam proses mengajar terhadap mahasiswa. Sedangkan untuk penyusun  sendiri, membantu untuk menambah ilmu dan pengetahuan, serta wawasan bisa tambah luas.
DAFTAR PUSTAKA

Mulyadi. Teori Uses and Gratification.
http://terinspirasikomunikasi.blogspot.com/2013/02/teori-uses-and-gratifications.html. 22 Febuari 2013. Diunduh Pada Tanggal 28 Oktober 2014.
Heriati. Teori Information Seeking dan Perannya dalam Komunikasi.

http://hariatidonggeapoteker.blogspot.com/2012/01/teori-information-seeking-dan.html. 02 Januari 2012. Diunduh Pada Tanggal 28 Oktober 2014.

TUGAS 2
A.    Pengertian Berita
Berita adalah informasi yang menginformasikan peristiwa atau kejadian yang penting diketahui oleh masyarakat, yang disampaikan baik secara lisan maupun tulisan (Heri Jauhari, 2013 : 193). Dengan demikian membaca berita berarti membaca bentuk laporan tentang suatu kejadian yang sedang terjadi baru-baru ini atau keterangan terbaru dari suatu peristiwa.
Walaupun berita diambil dari sebuah peristiwa, tidak semua peristiwa layak diberitakan. Dengan demikian, peristiwa yang layak diberitakan harus mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : pertama, unsur kepentingan; kedua, unsur perhatian masyarakat; ketiga, unsur emosi; keempat, unsur jarak peristiwa dan pembaca; kelima, unsur keluarbiasaan; keenam, unsur kemanusiaan; dan ketujuh unsur kekhasan (Rosidi, 2007:85 dalam Heri Jauhari, 2013: 193).
Berdasarkan pengertian berita di atas, dapat disimpulkan syarat berita adalah sebagai berikut :
1.       Merupakan fakta, berita haruslah berdasarkan kejadian atau peristiwa yang benar-benar nyata
2.       Terkini, artinya jarak penyiaran berita dengan waktu kejadian tidak telalu jauh
3.       Seimbang, artinya berita harus ditulis dan disampaikan dengan seimbang, tidak memihak kepada salah satu pihak.
4.       Lengkap, berita haruslah memenuhi unsur-unsur beritasebagaimana akan kita bahas di bawah ini.
5.       Menarik, artinya berita harus mampu menarik minat pembaca atau pendengarnya. Berita dapat dikatakan menarik bila bermanfaat bagi pembaca atau pendengarnya, berkaitan dengan tokoh terkenal, berkaitan dengan kejadian penting, humor, aneh, luar biasa atau bersifat konflik.
6.       Sistematis, berita seharusnya disusun secara sistematis, urutannya jelas sehingga pembaca tidak kebingungan dalam menangkap isi berita.
Jenis informasi dalam jurnalistik salah satunya adalah
Trend News yaitu berita yang terus berkembang sesuai dengan kelanjutan peristiwanya.
Contoh :
Cemooh, Iseng Atau Candu?
Pontianak Post - Mulutmu harimaumu. Begitulah pepatah yang kian terdengar tak asing oleh telinga kita. Berkomentar sana-sini seolah jadi momok yang mendarah daging di kalangan masyarakat ‘kekinian'. Tanpa peduli siapa yang menjadi sasaran, kebanyakan orang sering mengumbar penilaiannya terhadap pihak lain dengan cara mencemooh.

      Cemooh. Pernah mendengar sepatah kata tersebut? Atau bahkan jangan-jangan anda sering melakukannya? Di zaman yang kian maju oleh berkembangnya wawasan dan teknologi ini, siapa yang dapat mengelak sederet perubahan mendasar dalam diri manusia? Ya, sebuah proses yang lumrah ini memang sulit dihindari. Mulai dari teknologi hingga perilaku manusia, kini semakin bertambah modern. Beberapa hal yang bersifat konvensional pun mau tak mau harus tersisihkan dengan yang baru. Tak terkecuali dengan perilaku manusia.
      Ya, anda pasti setuju, perilaku manusia yang kerap kali iseng menyindir atau mencemooh seseorang ini tidak jarang kita temui. Cemooh kini keberadaannya kian sulit dibedakan dengan kritik. Pada dasarnya, kritik  sering digunakan beberapa orang dengan tujuan membantu perbaikan, agar hal-hal yang dikritik atau disanggahnya menjadi lebih baik.  Sedangkan cemooh, bentuk penilaian tersebut jauh dari pesan yang baik, bahkan sama sekali tidak mengandung esensi. Mereka yang sering mencemooh kerap kali hanya bersikap menghina atau menyampaikan sudut pandang mereka secara sepihak,  tidak berkontribusi memberi sebuah solusi. Tentu berbeda dengan sebuah kritikan, bukan?
Meskipun pada dasarnya setiap orang memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat mereka, tidak lantas membuat mereka terlepas dari aturan dalam berperilaku maupun bertutur. Kesopanan, rasanya sudah menjadi budaya yang turun temurun diwarisi oleh leluhur negara ini. Hanya saja beberapa manusia masih sulit dalam mengamalkannya. Tidak salah dalam menuangkan argumentasi, memang. Namun tentu dalam penyampaiannya terdapat kaidah yang perlu diperhatikan, agar kritik atau pendapat yang kita sampaikan dapat diterima dengan baik dan tidak menyinggung perasaan pihak yang bersangkutan.
      Cemooh, kini hadirnya kian menjamur di peradaban. Sederet bentuk penghinaan tidak tanggung-tanggung dilontarkan berbagai kalangan terhadap seseorang yang tidak disukainya, baik secara langsung maupun dengan perantara, seperti social media. Akhir-akhir ini bukan menjadi hal baru rasanya melihat perperangan pendapat yang terjadi di sejumlah account social media. Memang, dilihat dari sisi positifnya, mereka menunjukan antusias yang berarti mengenai isu-isu yang hangat diperbincangkan. 
     Namun sayang, antusias itu kadang berujung pada penghinaan atau dalam bentuk caci maki. Bahkan kadang tanpa memahami biduk persoalan yang dialami, mereka kerap menilai seenaknya. Lantas bagaimana perasaan pihak-pihak yang bersangkutan? Hal tersebut tidak jarang mengancam reputasi korban, image baik yang dimiliki dapat sekejap luntur jika dihadapkan dengan tindak pencemoohan. Tindakan yang tak ayal dapat membunuh karakter seseorang ini seringkali tidak disadari pelaku. Hal tersebut terjadi karena mereka sudah menanamkan perilaku cemooh ini sebagai bagian dari kebiasaan. Sehingga tidak jarang mereka enggan merasa bersalah ketika bertindak demikian.
      Bahkan siapa sangka bercemooh dapat membawa seseorang pada ‘petaka'?  Tindakan yang kerap dilakukan dengan alasan iseng ini tak jarang membawa si pelaku pada ranah serius, pengadilan misalnya. Beberapa kasus yang telah terjadi dapat kita jadikan contoh, seseorang yang menghina orang lain dapat saja dijatuhkan hukuman apabila dilaporkan oleh korban pencemoohan. Terdengar sepele memang, namun tidak salah apabila si pihak yang menjadi korban cemooh tersebut merasa dirugikan.  Rakyat Indonesia seolah latah dengan segenap trend yang sedang booming diperbincangkan di lingkungannya. Kemampuan mereka menyerap dan menyampaikan informasi pun kian sulit dibatasi. Mengomentari sesuatu secara pedas  dengan serangan-serangan kata yang tak jarang menyakiti hati sudah menjadi hal yang biasa. Justru hal inilah yang akan mematikan pribadi setiap individu, baik generasi tua maupun muda. Memalukan bukan bila sepintar, sekaya dan sehebat apapun kita namun cacat dalam berperilaku?
Sebagai mahluk sosial yang kehadirannya tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan berinteraksi, kini kita harus mampu memilah setiap perbuatan dan sikap  yang kita lakukan maupun sampaikan. Bagaimanapun tindak mencemooh bukan sesuatu yang patut dibudayakan. Justru sebaliknya, perilaku ini sudah sepantasnya diminimalisir, agar tidak merusak pribadi dan menyakiti perasaan seseorang. Bagaimana? Masih ingin bercemooh?